Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Religi’ Category

Pemimpin

By : Ust. DR. Amir Faishol Fath

Pemimpin bukan seorang penguasa, karena penguasa cenderung mengeksploitasi kekayaan negeri untuk kepentingan pribadi. Pemimpin bukan pemerintah, karena pemerintah cenderung menganggap rakyat sebagaijongos. Saya masih ingat Syaikh Muhammad Abduh seorang pemikir muslim terkemuka pernah mengatakan:

“Al amiiru laa man qaada biawaamirihii, bal man qaada bi afa’aalihii (pemimpin bukan seorang yang memimpin dengan perintah-perintahnya, melainkan yang memimpin dengan perbuatannya)”.

Pemimpin bukan raja, karena raja cenderung hanya mengurus dirinya dari pada rakyatnya. Raja lebih identik kepada pemilik kerajaan dan kekayaan yang ada di dalamnya, sementara rakyat hanya budak yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa.

Pemimpin dalam Islam adalah seorang pelayan. Karenanya ia bukan kemulyaan (tasyriif) melainkan tugas dan beban (takliif). Dalam Al Qur’an Allah subhaanahuu wata’aala menggunakan istilah khalifah, yang artinya wakil. Maksudnya adalah seorang yang mewakili Allah di bumi untuk melaksanakan segala aturan dan hukum-hukumNya. Berdasarkan makna ini maka seorang pemimpin yang tidak ikut Allah tidak pantas diberi gelar khalifah. Bila seorang pemimpin mewakili Allah, otomatis ia pasti akan mewakili rakyatnya. Sebagai wakil rakyat maka tidak akan pernah mendhalimi mereka.

Namun akhir-akhir ini pemimpin dalam arti sebagai pelayan kurang ditonjolkan. Sehingga rakyat yang sebenarnya memegang posisi paling tinggi malah direndahkan. Sementara para pemimpin justeru sibuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyatnya. Berbagai janji digelar menjelang pemilihan umum, bahkan tidak sedikit yang secara diam-diam membeli dukungan dengan harga yang tidak tanggung-tanggung. Namun begitu kepemimpinan diraih, janji hanya menjadi janji, dan rakyat terus mengalami penderitaan.

Sungguh tidak mungkin rakyat menemukan ketenangan di bawah naungan seorang pemimpin pembohong. Rakyat tidak membutuhkan janji-janji palsu. Rakyat memilih karena mereka tulus menginginkan kebaikan. Tetapi di manakah kini pemimpin yang benar-benar jujur. Pemimpin yang takut kepada Allah, sehingga amanah yang dipikulnya dilaksanakan secara maksimal.

Lihatlah Rasulullah sallallhu alaihi wa sallam, ketika memimpin. Bagaimana ia telah berhasil membangun persaudaraan, sehingga semua merasa aman di bawah kepemimpinannya. Belum pernah ada cerita bahwa seorang Yahudi atau Nasrani didzalimi pada zamannya. Bahkan yang sering kita dapatkan adalah kisah bagaimana Rasulullah sallallhu alaihi wa sallam selalu memberikan makan kepada seorang Yahudi yang buta, membela hak-hak mereka, sepanjang mereka tidak melakukan pengkhianatan. Bukan hanya ini, Rasulullah sangat tegas menegakkan aturan. Diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda: “Law anna faatimata binti Muhammad saraqat la qatha’tu Yadahaa (bila Fatimah putri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya)”.

Contoh lain lagi tercermin pada kepemimpinan Abu Bakar Ash shiddiq radhiyallahu anhu yang penuh dengan ketegasan dalam menjaga agama. Sekecil apapun yang merongrong agama, segera di atasi oleh Abu Bakar sedini mungkin. Itu nampak ketika Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak zakat. Abu Bakar berkata: “Lauqaatilanna man yumayyizu bainash shalaati waz zakaati (akan aku perangi orang-orang yang membedakan antara shalat dan zakat)”.

Abu Bakar memang secara fisik kurus, tidak segagah Umar bin Khaththab, tetapi dari segi ketegasan dan keberanian dalam mengambil keputusan, Abu Bakar lebih kuat. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menentukan arah orientasi kepemimpinan yang penuh dengan tantangan internal maupun ekternal bangsa sangat dibutuhkan kepemimpinan yang tegas dan berani seperti Abu Bakar.

Umar bin Khaththab hadir dalam kancah kepemimpinan Islam dengan pola yang lain lagi. Diriwayatkan bahwa Umar, masih makan roti kering dan memakai baju yang penuh tambalan, justeru di saat ia mencapai puncak keemasan. Setiap malam Umar keliling dari rumah ke rumah, membantu orang-orang yang lumpuh. Umar juga sempat membelikan kebutuhan sehari-hari bagi para janda yang suaminya gugur di medan tempur.

Dikisahkan bahwa suatu malam Umar keliling mengecek kondisi rakyatnya. Dari jauh nampak ada sebuah lampu menyala. Begitu Umar mendekatinya, terlihat seorang ibu sedang masak dan di sampingnya anak-anak kecil sedang menangis. Ketika Umar bertanya, sang ibu menjawab: “Anakku sedang lapar, dan aku memasak batu, supaya anakku tenang.” Mendengar hal itu, Umar langsung mengambil bahan bakanan dan menggendongnya sendiri dari Baitul Maal di malam itu juga. Bahkan Umar sendiri langsung memasaknya.

Perhatikan betapa sampai sedetil ini Umar menyadari hakikat tanggung jawab kepemimpinan. Selain itu, suatu hari Umar pernah berkata: “Lain nimtunnahaar dhayya’turra’iyyah wa lain nimtullail dhayya’tu nafsii (bila aku tidur di siang hari, aku telah abaikan rakyatku, dan bila aku tidur di malam hari aku telah abaikan diriku sendiri)”.

Suatu ungkapan yang pantas dijadikan pedoman dan ditulis dengan tinta emas oleh setiap pemimpin. Wallahu a’lam bishshwab.

Read Full Post »

Fitnah

”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabuut: 2-3)

Kehidupan dunia secara keseluruhan, baik dan buruknya adalah fitnah atau ujian bagi manusia. Fitnah yang senantiasa menyertai manusia dalam hidupnya sampai akhir hayatnya. Tetapi sangat disayangkan sebagian besar umat manusia tidak mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah. Sebagian yang lain mengetahui bahwa kehidupan di dunia ini fitnah tetapi kalah oleh dahsyatnya fitnah itu sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang sadar bahwa kehidupan di dunia ini fitnah, kemudian mereka berhati-hati terhadap fitnah itu dan ketika lalai atau lupa kembali pada petunjuk Allah.

Bagi orang beriman yang memahami hakikat kehidupan dunia, tetap belum aman terhadap fitnah, karena syetan selalu mengawasi mereka dan menggodanya sehingga orang beriman itu, lalai, jatuh dan terkena fitnah dunia dengan segala macamnya. Begitu juga para da’i yang selalu mengajak manusia untuk beribadah pada Allah belum aman dari fitnah. Syetan memiliki seribu satu macam cara untuk memfitnah dan menggoda para da’i sehingga mereka jatuh dan meninggalkan gelanggang dakwah kemudian memilih kehidupan dan profesi lain yang lebih santai, aman dan jauh dari dinamika dakwah.

Dan begitu juga para pemimpin umat, muballigh, ustadz dan tokoh masyarakat belum aman dari fitnah. Fitnah akan menyerang siapa saja dari manusia selagi mereka hidup di dunia, ada yang berjatuhan terkena fitnah dan ada juga yang selamat dengan izin Allah. Di akhir zaman ini fitnah akan semakin dahsyat dan mengerikan. Rasulullah SAW bersabda:

”Segeralah beramal sebelum terjadinya fitnah-fitnah seperti gelapnya malam. Seorang yang paginya mukmin sorenya menjadi kafir, dan pada sore hari mukmin dan paginya kafir, menjual agamanya dengan sedikit dari kekayaan dunia” (HR Muslim)

Rasulullah SAW selalu mengajarkan kepada umatnya agar berlindung kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang membahayakan manusia. Di antara doa Rasul SAW untuk membentengi fitnah tersebut yaitu: “Jika kalian membaca tasyahud, maka berlindunglah dari empat hal, yaitu berkata:”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari buruknya fitnah al-Masih ad-Dajjaal” (HR Muslim)

Makna Fitnah

Fatana Al-Ma’din artinya logam itu dibakar untuk mengetahui kualitasnya, (29: 2). Fatana Fulanan artinya si Fulan itu disiksa agar berubah dari sikap atau pendiriannya, (85: 10). Fatanahul Maal dan fatanathul Mar’ah artinya tergoda dengan harta dan wanita, (8: 28). Fatana fulaanan ’an sya’i artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, (5: 49). Iftatana bil amri artinya terkena fitnah dengan sesuatu seperti harta, wanita dan lainnya.

Jadi sesuai dengan ungkapan di atas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dsb. Ada ujian dalam bentuk kebaikan seperti harta, wanita, kedudukan, popularitas dsb. Fitnah juga bermakna kegagalan dari sebuah ujian dan berakibat pada keburukan, seperti syirik, kejahatan, kemungkaran, kerusakan, perselisihan, saling bunuh, dsb.

Gambaran Fitnah dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan kata fitnah dengan berbagai macam maknanya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:

”Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabuut: 1-3)

Manusia dalam menyikapi ajaran para nabi dan rasul ada dua sikap. Pertama, orang-orang yang mengimani ajarannya, merekalah orang-orang yang beriman. Dan kedua, orang orang-orang yang mengingkari ajarannya, mereka termasuk kelompok orang-orang kafir. Ketika manusia menyatakan keimanannya, maka mereka akan diuji untuk membuktikan bahwa pernyataan itu benar atau salah. Karena keimanan bukan hanya kata-kata yang diungkapkan, tetapi keimanan adalah hakikat yang mengandung resiko dan tanggungjawab, keseriusan yang membutuhkan ketabahan, jihad yang membutuhkan kesabaran. Oleh karena itu tidak cukup manusia menyatakan beriman sebelum mendapatkan ujian, cobaan dan tantangan.

Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar juga ujian dan cobaannya. Para nabi adalah orang yang paling besar ujian dan cobaannya kemudian yang sejenisnya dan seterusnya sesuai kadar keimanan seseorang.

”Orang yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian yang sejenisnya dan sejenisnya. Seorang akan diuji sesuai kualitas agamanya. Jika kualitas agamanya kuat maka ujiannya juga kuat dan jika agamanya lemah, maka diuji sesuai kadar agamanya” (HR Bukhari, Ahmad dan At-Tirmidzi).

Demikian orang-orang yang menyatakan beriman akan mendapatkan ujian dan cobaan di dunia, sedangkan orang kafir juga akan mendapatkan ujian dan cobaan. Orang beriman mendapatkan ujian awal di dunia berupa penderitaan, cobaan, ujian, kesusahan, fitnah dll untuk kemudian mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan akhir di akhirat. Sedangkan orang-orang kafir bersenang-senang dan berfoya-foya di awal hidupnya di dunia untuk kemudian mendapatkan ujian dan siksaan di akhirat. Jadi kedua golongan itu mendapatkan kesusahan, fitnah dan ujian, orang beriman di dunia dan orang kafir di akhirat.

Seseorang bertanya pada imam As-Syafi’i, dan berkata:” Wahai Aba Abdillah, mana yang lebih utama bagi seorang lelaki, mendapatkan kedudukan atau mendapat ujian?” Berkata imam As-Syafi’i:” Seseorang tidak mungkin akan mendapat kedudukan sehingga mendapat ujian. Karena sesungguhnya Allah telah menguji Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw. Ketika mereka sabar, maka Allah berikan kemuliaan kepada mereka. Maka jangan menyangka seorang beriman bebas dari ujian kesusahan. Allah SWT berfirman:

”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS Al-Baqarah 155)

Gambaran Fitnah Dalam Hadits

Hampir di setiap kitab hadits memuat bab tentang Fitnah. Imam Bukhari, At-Turmudzi dan Ibnu Majah membuat judul dalam kitab haditsnya Kitabul Fitan, Abu Dawud dan Al-Hakim menyebutnya dengan judul Kitabul Fitan wal Malaahim( bab fitnah dan huru hara), sedangkan imam Muslim menyebutnya Kitabul Fitan wa ’Asyraatus Saa’ah (bab fitnah dan tanda-tanda hari kiamat).

Di antara hadits-hadits yang disebutkan dalam shahih Bukhari tentang fitnah dapat disebutkan:

  1. Imam Bukhari mengawali hadits Fitnah dengan menyebut surat Al-Anfaal 25, agar orang beriman hati-hati terhadap fitnah dan menjauhinya.
  2. Fitnah semakin hari semakin berat dan semakin buruk.
  3. Harta yang paling bersih di akhir zaman bagi muslim adalah domba yang digembalakan di hutan dekat gunung dan air hujan.
  4. Di antara fitnah di akhir zaman, diangkatnya ilmu, dominannya kebodohan dan banyaknya pembunuhan.
  5. Umat Islam harus bersabar pada pemimpin jamaah Islam walaupun benci asal tidak menyuruh kepada kemungkaran dan kekafiran.
  6. Cara yang baik untuk selamat dari fitnah yaitu komitmen dengan jamaah Islam.
  7. Di masa fitnah dilarang memegang senjata yang membahayakan umat Islam.

Tokoh sahabat yang paling menguasai masalah fitnah adalah Hudzaifah bin Al-Yaman. Beliau banyak bertanya tentang keburukan daripada kebaikan. Hal ini dilakukan agar orang-orang beriman terhindar dari fitnah dan keburukannya. Bunyi lengkap hadits adalah:

“Manusia biasa bertanya pada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedang aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan, karena khawatir akan mengenaiku”. Saya berkata: “Wahai Rasulullah SAW apakah kami dahulu di masa Jahiliyah dan penuh kejahatan, kemudian Allah mendatangkan dengan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada lagi keburukan”. Rasul SAW menjawab:”Ya”. Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan”. Rasul SAW menjawab:”Ya, tetapi ada polusinya”. “Apa polusinya?” Rasul menjawab:” Kaum yang mengambil hidayah dengan hidayah yang bukan dariku, engkau kenali dan engkau ingkari”. Saya berkata:” Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?” Rasul SAW menjawab:” Ya, para penyeru ke neraka jahanam, barangsiapa yang menyambut mereka ke neraka maka mereka melemparkannya ke dalam neraka”. Saya berkata:” Ya Rasulullah SAW, terangkan ciri mereka pada kami?” Rasul SAW menjawab:” (kulit) mereka sama dengan kulit kita, berbicara sesuai bahasa kita”. Saya berkata:” Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasul SAW bersabda:” Komitmen dengan jamaah muslimin dan imamnya”. Saya berkata:” Jika tidak ada pada mereka jamaah dan imam?” Rasul menjawab:” tinggalkan semua firqah itu, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai menjumpai kematian dan engkau tetap dalam kondisi tersebut” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits lain yang berbicara tentang fitnah yang diriwayatkan Hudzaifah adalah: Saat itu kami bersama Umar bin Khathab beliau berkata: ”Siapa di antara kalian yang mendengar Rasulullah SAW menyebutkan tentang fitnah-fitnah? Berkata di antara mereka: ”Kami mendengarnya”. Berkata Hudzaifah: ”Mungkin yang Antum maksud terfitnahnya seorang lelaki oleh keluarga dan tetangganya?” Mereka menjawab: ”Benar”. Berkata Hudzaifah:” Fitnah itu terhapus dengan shalat, puasa dan sedekah, tetapi siapa yang mendengar Nabi SAW menyebutkan fitnah-fitnah seperti gelombang lautan? “Berkata Hudzaifah:” Maka mereka terdiam”. Aku berkata:” Aku tahu”. Berkata Umar:” Engkau wahai Hudzaifah!” Berkata Hudzaifah, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:” Fitnah-fitnah itu mengenai hati seperti tikar yang menempel secara terus-menerus” (HR Bukhari dan Muslim)

Fitnah anak, istri, tetangga dan lain-lain berupa mencintai mereka secara berlebihan, kurang ketaatannya kepada Allah akibat kesibukan dengan mereka, munculnya sikap kikir akibat kecintaan tersebut. Fitnah anak istri dapat juga berupa melalaikan hak-hak anak dan istri seperti mendidik mereka, begitu juga terkait dengan fitnah tetangga. Dan fitnah ini sebagaimana disebutkan dalam hadits terhapus dengan ibadah shalat, puasa dan sedekah. Fitnah ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-taghabuun: 15). Rasulullah SAW bersabda:” Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).

Dikatakan oleh ulama bahwa fitnah anak ada satu dan fitnah wanita ada dua. Fitnah wanita ada dua yaitu, pertama; wanita menyuruh suaminya untuk memutus hubungan silaturahim pada ibu dan saudara-saudara suaminya. Kedua; menyuruh suaminya untuk mencari harta yang halal atau haram. Sedangkan fitnah anak hanya satu yaitu membuat bapaknya mencari harta yang halal atau haram.

Dan fitnah lain yang disebut Hudzaifah adalah fitnah yang besar seperti gelombang lautan yang dapat menghanyutkan siapa saja yang ada di lautan kehidupan. Dalam hadits lain fitnah ini dapat menyebabkan seorang yang paginya muslim sorenya menjadi kafir, atau sorenya muslim, paginya menjadi kafir, mereka menjual agama dengan harta yang sedikit.

Di antara fitnah yang sangat besar adalah fitnah yang muncul dari para pemuka agama, alim ulama, kyai dan para da’i, jika mereka sudah terkena fitnah dunia, maka mereka menjual agamanya dengan harta dunia, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Ulama seperti ini dalam terminologi Islam disebut Ulama Suu (ulama jahat). Ciri khas mereka yang utama adalah lebih mencintai dan mengutamakan dunia. Akibatnya mereka tidak dapat berkata benar dalam mengeluarkan pernyataan dan fatwanya, karena hukum Allah senantiasa bertentangan dan bertolak belakang dengan syahwat manusia dan kecintaan mereka terhadap dunia, seperti kecintaan pada harta, kekuasaan, wanita dll. Rasulullah SAW bersabda:

”Orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah alim, yang Allah tidak memberi manfaat pada ilmunya” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Berkata Umar bin Khathab:”Yang paling aku takuti pada umat ini adalah orang jahat yang pandai berkata (ilmunya tidak sampai pada hatinya)”. Berkata Ali RA:” Yang paling menjengkelkanku adalah dua orang, orang berilmu tapi jahat, orang bodoh tapi rajin ibadah. Yang pertama membuat jauh manusia karena kejahatannya, dan yang kedua menipu manusia karena ibadahnya.”

Ulama Jahat akan senantiasa melakukan bid’ah untuk membenarkan kejahatannya. Maka terkumpulah pada mereka sifat buruk, mengikuti hawa nafsu yang mematikan mata hatinya, sehingga tidak dapat membedakan antara yang hak dan batil, bahkan memutarbalikkan antara yang hak dengan batil, sehingga melihat yang hak itu batil dan yang batil itu hak. Demikianlah kejahatan ulama jika sudah lebih mencintai dunia, syahwat dan hawa nafsu dari akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’raaf 175,176.

Macam-Macam Fitnah

Sebagaimana uraian di atas, maka secara umum fitnah terbagi menjadi dua, yaitu fitnah kebaikan dan fitnah keburukan. Allah SWT berfirman:

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiyaa: 35).

Fitnah kebaikan biasa disebut juga dengan fitnah dunia dan bermuara pada tiga hal yaitu harta, tahta dan wanita. Nabi SAW bersabda:

”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita” (HR Muslim)

Harta dengan segala macamnya pada dasarnya adalah kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Dan manusia harus menjadikannya sebagai sarana ibadah dalam hidupnya. Manusia yang mestinya menjadikan harta sebagai sarana tetapi mereka menjadikannya tujuan hidup bahkan banyak yang menghambakan hidupnya pada harta. Sehingga celakalah mereka, harta berubah menjadi fitnah dan bencana yang merugikan dirinya di dunia maupun akhirat.

Dan bagian fitnah yang harus diwaspadai para da’i dan pemimpin umat terkait dengan kebaikan adalah popularitas, sanjungan, pujian, penampilan, kecantikan, pengikut yang banyak, kemenangan dan sejenisnya. Imam Ahmad bin Hambal RA setelah terbebas dan penyiksaan yang berat dan dikeluarkan dari penjara, beliau mendapatkan simpati dan sambutan yang luar biasa dari pengikutnya. Mereka berdatangan untuk belajar, bertanya dan berguru pada imam Ahmad RA. Melihat sambutan yang luar biasa dari pengikutnya, imam Ahmad menangis dan sangat khawatir kalau ini adalah istidraj (fitnah) yang akan menjatuhkan beliau dari sikap istiqamah.

Sedangkan fitnah keburukan, seperti siksaan sampai ke tingkat pembunuhan, pengusiran, pemenjaraan, pemboikotan, kemiskinan, penyakit dll. Demikianlah fitnah terjadi silih berganti yang terjadi pada para nabi dan orang-orang beriman,

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS. Al Baqarah: 214)

Dalam konteks pemikiran dan gerakan, muncul beragam fitnah dan syubhat di bidang gerakan pemikiran sesat dan bid’ah yang menjamur di tengah masyarakat muslim, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Baha’iyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), Isa Bugis, Syiah dll. Fitnah ini muncul karena lemahnya umat Islam terhadap ajaran Islam. Dan jatuhlah mereka pada pemahaman yang salah dan menyimpang terhadap Islam. Tingkat penyimpangan gerakan pemikiran berbeda satu sama lain, ada yang sudah sesat dan keluar dari ajaran Islam, seperti Ahmadiyah, tetapi ada juga yang masih dapat diajak dialog tentang keislaman.

Dan fitnah yang terbesar dan terberat yang dihadapi oleh orang-orang beriman adalah fitnah menyebarnya kemusyrikan, kekafiran, kemungkaran, perselisihan dan perang antara sesama orang beriman. Fitnah yang pertama muncul setelah wafatnya Rasul SAW, menyebarnya kemurtadan dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan Abu bakar As-Siddiq berhasil memeranginya. Fitnah pembunuhan terhadap Khulafaur Rasyidin, Umar, Utsman dan Ali semoga Allah meridhai semuanya. Fitnah antara imam Ali RA dengan Siti Aisyah RA dalam perang Jamal, antara Ali RA dengan Muawiyah RA dalam perang Shiffin. Dan para ulama menyebutnya dengan istilah Fitnah Qubra.

Sikap Para Da’i terhadap Fitnah

Segala macam fitnah harus disikapi dengan bijak oleh para da’i sesuai dengan bentuk dan kadar fitnahnya. Ketika para da’i berhasil mengatasi fitnah yang terjadi di dunia, maka dia akan sukses dan mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah. Sikap pertama yang harus dilakukan oleh para da’i untuk menghadapi fitnah adalah hati-hati dan waspada (hadzr). Setiap da’i apapun yang terjadi, baik dan buruknya, senantiasa dalam kondisi diuji. Kemudian untuk menyikapi segala macam fitnah keburukan para da’i harus bersabar, bersabar tidak terlibat dalam keburukan dan bersabar atas segala musibah yang buruk. Dan menyikapi segala bentuk kemudahan para da’i harus bersyukur. Rasul SAW bersabda:

”Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, segala urusannya baik dan itu tidak terjadi kecuali orang beriman. Jika diuji kemudahan, dia bersyukur maka itu baik untuk orang beriman. Dan jika diuji kesusahan maka dia bersabar, dan itu baik untuk orang beriman” (HR Muslim)

Selanjutnya dalam menyikapi berbagai macam huru hara, perselisihan dan fitnah antara sesama muslim, maka sikap para da’i harus tetap komitmen pada jamaah Islam dan tetap taat pada pemimpin selagi tidak menyuruh pada kemungkaran dan kekafiran.

Fitnah terkait dengan kebatilan dan pemikiran yang sesat harus dihadapi dengan dakwah dan argumentasi yang kuat sehingga terlihat jelas antara kebenaran dan kebatilan. Ulama dan para da’i harus menjelaskan kepada umat antara yang hak dengan yang batil agar mereka tidak menjadi bingung dan tidak tersesat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baiknya jihad adalah perkataan yang benar pada penguasa yang sesat” (HR Ahmad).

Pada masa kekhalifahan imam Ali RA. Banyak kaum yang keluar dari jamaahnya dan disebut kelompok Khawarij. Lalu imam Ali RA. Mengirim Ibnu Abbas RA kepada mereka untuk berdialog seputar agama dan pemahaman Islam, maka banyak sekali di antara mereka yang sadar dan kembali pada ajaran yang benar. Begitu juga terhadap kelompok yang mengkultuskan dirinya dari kalangan Syiah, maka imam Ali RA senantiasa mengarahkan pada pemahaman yang benar dan menolak segala macam pengkultusan.

Sedangkan untuk menyikapi fitnah kekafiran dan kemusyrikan, maka umat Islam harus berjihad melawannya. Allah SWT berfirman:

”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Anfal: 39).

Seluruh bentuk fitnah harus dilawan oleh umat Islam sehingga hanya Islamlah yang eksis di muka bumi ini. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19205/fitnah/#ixzz24oDCW1qD

Read Full Post »

Sami’allahu Liman Hamidah

 

Sami’allahu liman hamidah…… suara imam bergema memecah kesunyian, makmum yang ruku’ pun ikut berdiri tegak, mengikuti sang imam.

Sami’allahu liman hamidah, kata yang sangat akrab dengan lidah kita. Dalam sehari, minimal kita mengucapkannya sebanyak 17 kali.
Sami’allahu liman hamidah, mudah diucapkan, anak kecil pun bisa.
Sami’allahu liman hamidah, sudah kita hafal di luar kepala, lidah kita sudah otomatis […]

Sami’allahu liman hamidah…… suara imam bergema memecah kesunyian, makmum yang ruku’ pun ikut berdiri tegak, mengikuti sang imam.

Sami’allahu liman hamidah, kata yang sangat akrab dengan lidah kita. Dalam sehari, minimal kita mengucapkannya sebanyak 17 kali.

Sami’allahu liman hamidah, mudah diucapkan, anak kecil pun bisa.

Sami’allahu liman hamidah, sudah kita hafal di luar kepala, lidah kita sudah otomatis mengucapkannya ruku’.

Sami’allahu liman hamidah, pernahkah anda penasaran apa artinya kalimat itu? Atau karena lidah kita sudah otomatis mengucapkannya, kata itu menjadi sesuatu yang “biasa” tanpa makna?

Sami’allahu liman hamidah, pernahkah hatimu ingin tahu apa artinya?

Sami’allahu liman hamidah, apakah hanya sekedar bunyi tanpa makna? Kita menikmati kicau burung, meski sekedar bunyi tanpa ada makna. Kita tidak menikmati ucapan sami’allahu liman hamidah. Kita lebih menikmati kicau burung.

Sami’allahu liman hamidah, sekali lagi, apakah hanya sekedar bunyi tanpa arti?

Sami’allahu liman hamidah, sebuah kalimat yang diucapkan dalam shalat, menjadi pengganti takbir, menggantikan kalimat Allahu Akbar.

Sami’allahu liman hamidah, bukan kalimat sembarangan, karena ada perintah mengucapkannya dalam shalat, dalam sebuah ibadah yang sama sekali bukan sembarangan, bukan hal sepele. Perintah menegakkan shalat sejajar dengan perintah ibadah.

Allah berfirman:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.

Thaha ayat 14

Aku tahu Allah adalah tuhan yang benar, lalu apa?

Jika kamu tahu bahwa Allah adalah tuhan yang benar, maka sembahlah Allah, dan tegakkanlah shalat.

Apakah karena kita menganggap shalat sebagai hal sepele, akhirnya kata-kata dalam shalat juga kita anggap sepele?

Sami’allahu liman hamidah, bukan kalimat sepele.

Sami’allahu liman hamidah, mengandung makna yang dalam, makna yang luar biasa indah.

Itu pasti.

Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Rahman dan Rahim, Maha Suci, tidak akan meletakkan kata sia-sia dalam shalat, sebuah amalan yang amat dicintaiNya.

Sami’allahu liman hamidah, apa artinya?

Mari kita simak Imam Nawawi menjelaskannya dalam Syarah Shahih Muslim:

Arti sami’allahu liman hamidah : Allah mengabulkan doa orang yang memujiNya, dan makna Allah mendengar kalian, yaitu mengabulkan doa kalian.

Pada bagian lain, Imam Nawawi berkata:

Para ulama mengatakan: arti mendengar di sini adalah mengabulkan, artinya, siapa yang memuji Allah dengan mengharap pahalaNya, Allah akan mengabulkan harapannya, dan memberikan apa yang dia minta. Maka kita mengatakan Rabbana, walakal hamdu, untuk meraih pahala.

Allah menjamin untuk mengabulkan doa, menjamin untuk memberi ganjaran bagi pujian. Maka kita segera menyambut hadiah ini dengan mengatakan rabbana walakal hamd,

Ya Allah kabulkan doa kami, kabulkan pujian kami, kami akan memujiMu.

Sami’allahu liman hamidah, Allah mengabulkan doa orang yang memujiNya

Sami’allahu liman hamidah, Allah akan memberi pahala orang yang memujiNya.

Berita gembira dari Allah untuk kita, dari Allah yang Maha Rahmaan, Maha Luas RahmatNya. Berita gembira dari Allah, yang mengirim kita ke alam dunia, yang memberi kita hidup, dengan segala kelengkapannya. Dari Allah yang memberi kita otak, mata dan telinga, yang memberi kita jantung dan lambung.

Sami’allahu liman hamidah, berita gembira mengandung bisikan lembut menembus hati kita, mengajak untuk berdoa dan memujiNya.

Alangkah baiknya Allah.

Read Full Post »

Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara. Jika pemimpin negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.

Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik. Dalam Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk memilih pemimpin yang baik dan beriman:

“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “ (An Nisaa 4:138-139)

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimmpin (mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagiaa yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada oarng-orang yang zalim ” (QS. Al-Maidah: 51)

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang2 yang zalim” (At Taubah:23)

 

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang2 kafir menjadi wali (teman atau pelindung)” (An Nisaa:144)

“Janganlah orang2 mukmin mengambil orang2 kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun…” (Ali Imran:28)

Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “ada tujuh golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):

 

1. Imam/pemimpin yang adil

2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah

3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid

4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun karena Allah

5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”

6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya

7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air matanya.

(HR. Bukhari dan Muslim)

“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8)

 

Keadilan yang diserukan al-Qur’an pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu. Hal inilah yang telah diperintahkan al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya adalah putri beliau sendiri, Fatimah, misalnya.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-Nisa; 4: 135)

Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzun dipotong tangannya lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin Zaid supaya memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun marah. Beliau bahkan mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan oleh ketidakadilan dalam supremasi hukum seperti itu.

 

Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: adakah patut engkau memintakan kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah? Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri, mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)

“Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”. (Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib) Pilihlah pemimpin yang jujur:

Dari Ma’qil ra. Berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar dari Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: “seseorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga”. (HR. Bukhari)

Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi, nepotisme, manipulasi, dll:

“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)

Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap kelompoknya sendiri:

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam Al Qur’an :

“ … Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .” (QS. Al Hajj : 78)

 

Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :

“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka sesungguhnya dia menyeru ke pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah, walaupun dia puasa dan shalat?” “Ya, walaupun dia puasa dan shalat, walaupun dia mengaku Muslim. Maka menyerulah kalian dengan seruan yang Allah telah memberikan nama atas kalian, yaitu : Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-Hamba Allah.” (HR. Ahmad jilid 4/130, 202 dan jilid 5/344)

 

Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya), Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dgn baik dgn rakyatnya). Sifat di atas juga harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.

Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk memajukan rakyatnya.

Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih Golput. Sikap golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam Islam, kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian, pilihlah satu orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin. Sholat wajib pun yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam

Read Full Post »

Menjadi Manusia Idaman

Menjadi Manusia Idaman Siapa sih yang tidak ingin menjadi manusia idaman? manusia yang menjadi teladan banyak orang dalam akhlak dan perilakunya. Itulah manusia yang insya Alloh mendapatkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Meski banyak orang ingin memiliki keluhuran budi dan ketinggian akhlak, tapi toh banyak orang kita jumpai dengan berbagai karakter. Baik karakter yang baik atau yang buruk. Kadang hati dibuat kesal dengan perbuatan teman, hati dibuat marah dan susah untuk memaafkan. Tapi kadang hati dibuat terkesima dengan kebaikan akhlak seorang teman. Begitulah karakter orang berbeda-beda. Untuk menjadi manusia idaman sebenarnya sangatlah mungkin kalau kita berkomitmen yang tinggi untuk meneladani kehidupan Rasululloh Saw.

Sekarang marilah kita simak pesan dari seorang manusia yang menjadi teladan seluruh ummatnya yaitu Muhammad Rasululloh Saw. Waktu itu beliau memberikan tiga buah nasehat kepada kedua sehabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal : “Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji.” HR. Tirmidzi Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut sangat layak untuk kita perhatikan jika kita masih mengaku sebagai ummatnya dan ingin menjadi manusia idaman.

1 – BERTAQWA DIMANA SAJA

Definisi dari kata taqwa dapat dilihat dari percakapan antara sahabat Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!” Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.

Perintah Rasululloh tentang taqwa dimana saja juga terdapat dalam surat Ali Imron 102: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa dimana saja memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu majelis ta’lim, pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik. Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan kita dimanapun saja, maka diperlukan kesadaran yang tinggi bahwa Allah Swt senantiasa mengawasi setiap makhluk-Nya.

2 – KEBAIKAN YANG MENGHAPUSKAN KESALAHAN

Setiap kita pasti pernah melakukan kesalahan baik kita sadari atau tidak. Karena itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan lah kebaikan. Karena kebaikan itu dapat menghapuskan kesalahan yang telah dilakukan. Untuk dosa atau kesalahan yang terkait dengan orang lain, maka selain bertobat pada Alloh, juga diperlukan permintaan maaf pada orang yang pernah kita sakiti.

3 – AKHLAQ YANG TERPUJI

Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Tidak memiliki akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah) Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari) Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya yang tidak aman dari gangguannya.

Marilah kita saling introspeksi diri supaya lebih hati-hati dalam bergaul dan senantiasa mengaplikasikan adab-adab yang islami dalam setiap pergaulan kita. Pembahasan mengenai adab-adab yang Islami dalam pergaulan, bisa sampean baca di postingan berikutnya Insya Alloh kalo sempat. he.. he.. Wallahua’lam bish showab.

Read Full Post »

Seberapa besarkah kebutuhan kita kepada hidayah? Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan setidaknya ada 10 alasan yang melatarbelakangi doa yang senantiasa kita panjatkan dalam sholat kita. Yaitu doa meminta hidayah. Beliau memaparkan:

Barangsiapa yang mencermati segala kerusakan yang menimpa alam semesta secara umum maupun khusus, niscaya dia akan menemukan bahwa itu semua muncul dari dua sumber utama ini (yaitu akibat kelalaian dan memperturutkan hawa nafsu, pent).

Adapun kelalaian, maka ia akan menghalangi seorang hamba dari mengetahui kebenaran sehingga membuatnya tergolong orang yang sesat. Adapun memperturutkan hawa nafsu akan memalingkannya dari mengikuti kebenaran sehingga membuatnya termasuk golongan orang yang dimurkai. Sedangkan orang yang dikaruniai nikmat itu adalah orang-orang yang diberi anugerah ilmu tentang kebenaran dan ketundukan untuk melaksanakannya serta mendahulukan hal itu di atas selainnya. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas jalan keselamatan. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang berada di atas jalan kehancuran.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan kita untuk mengucapkan setiap sehari semalam berkali-kali, “Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa lad dhaalliin.” Artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 5-7)

Karena sesungguhnya seorang hamba sangat-sangat membutuhkan pengetahuan terhadap apa saja yang bermanfaat baginya dalam kehidupan dunia dan akheratnya. Sebagaimana dia juga sangat-sangat membutuhkan keinginan yang kuat sehingga bisa mendahulukan urusan yang bermanfaat baginya itu serta sebisa mungkin menjauhi segala hal yang membahayakan dirinya.

Dengan terkumpulnya kedua perkara ini maka sungguh dia telah mendapat petunjuk menuju jalan yang lurus itu. Apabila dia kehilangan ilmu tentangnya maka dia akan menempuh jalan orang-orang yang sesat. Dan apabila dia kehilangan tekad dan keinginan untuk mengikutinya maka dia telah menempuh jalan orang-orang yang dimurkai. Dengan begitu bisa diketahui betapa agung kedudukan doa ini dan betapa besar kebutuhan hamba terhadapnya, karena kebahagiaan hidup di dunia dan akherat semuanya tergantung pada hal ini.

Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah dalam setiap waktu dan tarikan nafas, dalam segala urusan yang dia lakukan atau pun dia tinggalkan, karena sesungguhnya dia berada di antara berbagai keadaan yang dia pasti diliputi olehnya:

Pertama, hal-hal yang telah dia lakukan akan tetapi tidak mengikuti petunjuk akibat kebodohannya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk mencari hidayah kepada kebenaran dalam hal itu.

Kedua, dia sudah mengetahui hidayah dalam masalah itu, akan tetapi dia sengaja melanggarnya, maka dalam keadaan ini dia butuh untuk bertaubat dari kesalahannya.

Ketiga, hal-hal yang memang tidak diketahuinya baik ilmu maupun amalan yang benar padanya, sehingga dia pun kehilangan hidayah untuk mengilmui sekaligus mengamalkannya.

Keempat, hal-hal yang memang dia telah memperoleh sebagian hidayah dalam urusan itu akan tetapi belum sempurna, maka dia butuh untuk mendapatkan hidayah yang sempurna padanya.

Kelima, hal-hal yang dia telah mendapatkan hidayah terhadap pokok kebenaran dalam hal itu secara global saja, maka dia pun masih membutuhkan hidayah terhadap rincian-rinciannya.

Keenam, dia telah mendapatkan hidayah ‘menuju’ jalan yang lurus itu, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berjalan ‘di atasnya’. Karena hidayah ‘menuju’ jalan itu lain, sedangkan hidayah ‘di atas’ jalan itu sesuatu yang lain lagi. Bukankah anda bisa melihat bahwasanya  seseorang bisa jadi telah mengetahui bahwa jalan menuju negeri anu adalah jalan ini dan itu. Meskipun demikian dia tidak sanggup untuk menempuhnya. Karena untuk bisa menempuh jalan itu masih memerlukan hidayah yang lebih khusus lagi untuk bisa berjalan di atasnya. Seperti misalnya dengan melakukan perjalanan di waktu ini bukan di waktu yang itu, kemudian mengambil air di jarak sekian dengan jumlah sekian, lalu singgah di tempat ini bukan di tempat yang itu. Inilah hidayah yang dibutuhkan untuk bisa menempuh jalan itu yang terkadang diabaikan oleh orang yang sudah mengetahui jalan tersebut, sehingga dia pun gagal dan tidak berhasil mencapai tujuan.

Ketujuh, dia juga membutuhkan hidayah untuk hal-hal yang terkait dengan masa depannya sebagaimana yang dia dapatkan pada waktu yang telah berlalu.

Kedelapan, perkara-perkara yang dia tidak bisa meyakini apa yang benar dan batil dalam hal itu, oleh sebab itu dia masih membutuhkan hidayah kepada keyakinan yang benar di dalamnya.

Kesembilan, perkara-perkara yang telah diyakini olehnya bahwa dia berada di atas petunjuk akan tetapi sebenarnya dia berada di atas kesesatan dalam keadaan tidak menyadarinya. Dengan demikian dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk bisa meninggalkan keyakinan tersebut.

Kesepuluh, hal-hal yang telah dia lakukan sebagaimana hidayah yang sebenarnya, maka dia pun masih membutuhkan hidayah untuk bisa berbagi hidayah itu kepada selainnya, agar bisa membimbing dan mengarahkannya. Karena apabila dia melalaikan hal itu niscaya dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan kelalaiannya tadi. Sesungguhnya balasan itu serupa dengan jenis amalan. Semakin dia berjuang dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada orang lain maka semakin besar perhatian Allah dalam memberikan hidayah dan ilmu kepada dirinya, sehingga dia akan bisa menjadi orang yang mendapat hidayah dan menyebarkannya.

Hal itu sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan selainnya, “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan iman, dan jadikanlah kami orang yang memberikan hidayah dan terus diberi hidayah, tidak sesat dan tidak pula menyesatkan. Mendatangkan keselamatan kepada wali-wali-Mu dan memerangi musuh-musuh-Mu. Dengan cinta-Mu Kami mencintai orang yang mencintai-Mu. Dengan permusuhan-Mu kami akan memusuhi siapa saja yang menentang-Mu.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat sanadnya dilemahkan Syaikh al-Albani, tetapi sisi pendalilan dari hadits ini didukung oleh hadits yang lain)

 

Diterjemahkan secara bebas dari:
Risalah Ibnul Qayyim ila Ahadi Ikhwanihi (hal. 5-10)

Read Full Post »

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.

Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi

2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.

Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.

Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.

Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.

Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).

Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا

(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).

Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.

Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.

dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:

3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.

Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.

Read Full Post »

Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa menghasilkan sesuatu tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Sebagian manusia terlalu sombong, tidak mau berdoa, seakan ia bisa beribadah tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Sebagian manusia terlalu sombong, jarang berdoa, seakan kekuatan manusiawinya lah yang dapat mewujudkan seluruh asa dia tanpa pertolongan dari Allah Ta’ala.

Coba perhatikan hal-hal berikut, niscaya kita akan semangat selalu berdoa kepada Allah Ta’ala atas keperluan dunia dan akhirat kita.

Seorang yang tidak berdoa adalah orang sombong

{وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ} [غافر: 60]

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Mukmin: 60).

Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Ayat ini memberikan faedah bahwa doa adalah ibadah dan bahwa menginggalkan berdoa kepada Rabb yang Maha Suci adalah sebuah kesombongan, dan tidak ada kesombongan yang lebih buruk daripada kesombongan seperti ini, bagaimana seorang hamba berlaku sombong tidak berdoa kepada Dzat yang merupakan Penciptanya, Pemberi rezeki kepadanya, Yang mengadakannya dari tidak ada dan pencipta alam semesta seluruhnya, pemberi rezekinya, Yang Menghidupkan, Mematikan, Yang Memberikan ganjarannya dan yang memberikan sangsinya, maka tidak diragukan bahwa kesombongan ini adalah bagian dari kegilaan dan kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. (Lihat kitab Tuhfat Adz Dzakirin, karya Asy Syaukani).

Seorang yang berdoa adalah orang yang paling dimuliakan oleh Allah ta’ala

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَيْسَ شَىْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ»

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang paling mulia di sisi Allah dibandingkan doa.” (HR. At Tirmidzi).

Para ulama mengatakan kenapa doa sesuatu yang paling mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan yang lainnya: “Karena di dalam doa terdapat bentuk sikap perendahan diri seorang hamba kepada Allah dan menunjukkan kuasanya Allah Ta’ala.”

Allah Ta’ala sangat, sangat, sangat menyukai hamba-Nya merendah diri kepada-Nya dan menunjukkan bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satu-Nya Yang Berkuasa, Yang Maha Pengatur, yang Maha Pencipta, tiada sekutu bagi-Nya.

Dengan doa kita melawan, menahan, meringankan bala dan musibah

عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يغني حذر من قدر و الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Sikap kehati-hatian tidak menahan dari takdir, dan doa bermanfaat dari apa yang terjadi (turun) ataupun yang belum terjadi (turun) dan sesungguhnya bala benar-benar akan turun lalu dihadang oleh doa, mereka berdua saling dorong mendorong sampai hari kiamat.” (HR. Al Hakim dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7739).

Seorang yang berdoa tidak pernah rugi

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ «اللَّهُ أَكْثَرُ»

“Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak ada seorangpun yang berdoa dengan sebuah dosa yang tidak ada dosa di dalamnya dan memuutuskan silaturrahim, melainkan Allah akan mengabulkan salah satu dari tiga perkara, baik dengan disegerakan baginya (pengabulan doanya) di dunia atau dengan disimpan baginya (pengabulan doanya) di akhirat atau dengan dijauhkan dari keburukan semisalnya”, para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu kami akan memperbanyak doa?” Beliau menjawab: “Allah lebih banyak (pengabulan doanya)” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib, no. 1633).

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelasakan tentang ajaibnya doa

“Dan demikian pula doa, sesungguhnya ia adalah salah satu sebab yang paling kuat menahan keburukan, mewujudkan permintaan, akan tetapi berbeda pengaruh doanya, baik karena lemahnya pada doa tersebut yaitu doanya merupakan sesuatu yang tidak dicintai Allah karena di dalamnya terdapat permusuhan, maka doanya seperti busur yang tipis sekali, maka anak panah keluar darinya sangat lemah, atau karena terdapat yang menahan dari pengabulan doa, seperti; makan harta yang haram, perbuatan zhalim, dosa-dosa yang menutupi hati, terlalu lalai, penuh hawa nafsu dan kelalaian. Sebagaimana yang di sebutkan di alam kitab Al Muastdarak akrya Al Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak menerima sebuah doa dari hati yang lalai,” maka (doa seperti) ini adalah doa yang bemanfaat, menghilangkan penyakit akan tetapi lalainya hati terhadap Allah membatalkan kekuatannya dan begitujuga memakan yang haram membatalkan kekuatannya dan mengguranginya. Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Cukup doa disertai dengan amalan yang baik sebagaimana makanan disertai dengan garam.”

Beliau juga berkata, “Dan doa termasuk obat yang paling manjur, ia adalah musuhnya bala, melawannya, melarang turunya dan mengangkat dan meringankannya jika ia turun, dan ia adalah senjatanya orang beriman. Doa berhadapan dengan bala tiga keadaan;
1-Doanya lebih kuat daripada bala maka ia menolaknya.
2-Doanya lebih lemah daripada bala, maka akhirnya bala yang menang, dan mengenani hamba akan tetapi terkadang meringankannya jika ia lemah.
3-Doa dan bala’ saling berlawanan dan manahan setiap salah satu dari keduanya.”
Lihat kitab Al Jawab Al Kafi, karya Ibnul Qayyim rahimahullah.

http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/jangan-malas-untuk-berdoa.html

Read Full Post »